Game Ini Sudah Punah di Kampung Kami (1)
Ilustrasi Game Sambai. (pixabay.com) |
Masa kecil adalah masa keemasan, sebab pekerjaan anak sekolahan
kerjaannya hanya bermain dan bermain. Tidak ada tanggung jawab yang membuat
kepala menjadi berat, seperti menderita karena merasa jomblo, pekerjaan tetap
yang belum dapat, skripsi belum kelar, hingga mahar yang kian mahal. Anak kecil
hanya mempunyai pekerjaan sekolahan yang harus diselesaikan di rumah (PR),
itupun dapat diakali dengan datang lebih awal kesekolah lalu menyontek pada
teman yang sudah selesai, sebelum dentingan bel masuk sekolah dimulai. Kalau PR
tidak jumpa pada pelajaran jam pertama maka beruntung dapat dilanjutkan saat
jam istirahat. (pengalaman pribadi nih, hehe)
Masa kecil, saya habiskan di desa Meunasah Timu, sebuah desa
yang masuk dalam lingkup Matangglumpang Dua, sebuah kota yang dikenal dengan
kuliner sate matang yang lezat dan sering menjadi singgahan bus di jalan
lintasan Medan-Banda Aceh, para penumpang yang beristirahat sejenak sering
mencicipi satai di kota kami yang khas. Kota matang masuk dalam Kabupaten
Bireuen wilayah utara Provinsi Aceh. Bireuen dikenal dengan keripik yang renyah
dan enak. Kerap dijadikan salah satu oleh-oleh pelancong ketika lewat di kota
yang bertuan rumah tim sepakbola PSSB Bireuen ini.
Ketika saya masih duduk di bangku SD dan SMP kami sering bermain game untuk menghabiskan waktu sore atau pun siang, selain bermain layang-layang ada permainan lain yang sering kami gelar, diantaranya permainan bernama Sambai dan Samalion. Saya tidak mengetahui apakah permainan ini hanya ada di kecamatan/kabupaten kami atau memang permainan yang digeluti oleh anak-anak Aceh di segala wilayah pada umumnya. Yang jelas ketika saya menulis tulisan ini, kedua permainan tersebut tidak lagi saya jumpai/dimainkan oleh anak-anak di kampung saya. Entah karena membosankan ataupun digerus oleh permainan lain yang lebih canggih karena perubahan zaman dan perkembangan teknologi yang begitu pesat.
Nah ada beberapa permainan unik, ketika saya masih berada
dalam masa-masa belum adanya ponsel di kampung kami. Permainan ini sederhana,
mengandalkan kerjasama tim agar bisa sukses menaklukkan lawan. Dalam game ini
juga ada teknik-teknik tertentu yang tidak semua orang memilikinya. Berikut
permainan kampungan, yang saya duga sudah punah ketika tulisan ini saya posting.
1. Sambai
Sambai juga dikenal dengan nama masakan, bahasa aceh dari
Sambal. Saya tidak tau asal mula nama ini sehingga dijadikan nama sebuah game. Sambai adalah permainan
kejar-kejaran. Pemain di bagi dua tim, pengejar dan pelari. Pertama-tama dibuat
sebuah lingkaran bulat di tanah, lingkaran ini nantinya berlaku sebagai
penjara, kurungan sementara peserta yang telah berhasil ditangkap saat dikejar.
Tidak ada jumlah pemain tertentu dalam sebuah tim, biasanya masing-masing tim
terbagi dengan peserta berjumlah genap atau ganjil, misal tim pengejar lima
orang dan pelari juga lima orang, kadang ada pula kurang atau lebih satu orang
dalam satu tim.
Kedua tim yang di huni beberapa peserta harus memutuskan
siapa yang menjadi pelari dan siapa yang menjadi pengejar. Masing-masing tim
tentu berharap menjadi tim pelari yang dikejar. Biasanya pelari dan pengejar
diputuskan dengan cara dem-dem s’ut,
bahasa indonesia dikenal dengan hom pim pa. Yang menang dengan telapak tangan
putih saat dem-dem s’ut akan menjadi
pelari, yang kalah siap-siap mengejar. Area pelarian dalam permainan dibatasi,
biasanya berjarak sekitar 50 meter dari lingkaran yang telah dibuat, atau
selebar komplek perumahan. Permainan ini sering digelar di area perumahan
perdesaan.
Permainan dimulai, tim pelari berusaha menjauh sebisa
mungkin agar tidak tertangkap, pemain yang punya kemampuan lari kencang
biasanya paling sulit untuk ditangkap, namun berkecepatan tinggi tanpa skil kilik (mengocek lawan) sia-sia juga
nantinya bakal tertangkap juga karena kecapaian. Lawan (pelari) yang sudah
berhasil ditangkap satu-persatu dimasukkan ke dalam lingkaran yang tidak boleh
melewati garis. Lawan yang tertangkap nantinya bisa keluar lagi setelah ada
kawan satu tim yang membantu melepaskan, hal ini terjadi ketika kawan satu tim
yang masih belum tertangkap berlari sambil menyentuh tangan kawan yang berada
dalam lingkaran, otomatis yang berada dalam lingkaran bebas berlari dan dikejar
lagi.
Nah ketika semua lawan berhasil ditangkap dan dimasukkan
dalam lingkaran, maka tim yang tadinya bertugas sebagai pengejar kini berganti
sebagai pelari, begitu juga sebaliknya, yang mulanya berlari kini berganti
mengejar. Begitu seterusnya saling bergantian. Permainan ini biasa dilakukan
pada sore hari, bisa juga pada siang hari. Permainan diakhiri bila kedua tim
sama-sama lelah bermandikan keringat, atau diakhiri ketika waktu menjelang
maghrib tiba.
2. Samalion
Kami menyebutnya samalion, sama seperti sambai, kami tidak
tau asal mula nama permainan ini. Samalion mirip camci (bahasa indonesianya petak
umpet), masih tentang kejar-kejaran. Jumlah pemain tidak dibatasi, biasanya
berjumlah 5-10 orang. Dari jumlah tersebut akan dipilih seorang yang bertugas pet, dalam bahasa indonesia dikenal
sebagai “kucing” (pengejar yang akan mencari lawan yang bersembunyi disuatu
tempat).
Orang yang menjadi pet
di putuskan dengan cara s’ut, yaitu
permainan sederhana mirip suwit, hanya saja yang disuwit isyarat jari tangan
yakni jari telunjuk, ibu jari dan kelinking. Berbeda dengan suwit pada umumnya
dengan isyarat tangan batu, kertas dan gunting. S’ut dengan ibu jari diartikan sebagai gajah, jari kelingking
sebagai semut, dan jari tangan sebagai manusia. Nah dalam permainan ini, gajah
mengalahkan manusia, manusia mengalahkan semut, dan semut mengalahkan gajah.
Setelah semua orang yang bersedia main samalion, satu
persatu mengikuti s’ut. Peserta s’ut
yang terakhir kalah akan menjadi pet (kucing).
Cara bermain pertama-tama, separuh batok kelapa yang sudah ditentukan, diletak menelungkup di area tanah yang telah ditentukan. Dari semua pemain yang telah
bersiap-siap, dipilih seorang untuk menendang batok kelapa sekeras dan sejauh
mungkin, setelah batok kelapa terlempar jauh, pemain berlari dan bersembunyi,
yang bertugas pet mengambil batok
kelapa dan menaruh ditempat semula ditendang. Lalu si pet mencari pemain yang telah bersembunyi dengan selalu waspada
menjaga tempurung, agar tidak ditendang tiba-tiba oleh pemain yang keluar dari
tempat persembunyian.
Batok Kepala. (pixabay.com) |
Si pet yang telah
menemukan lawan wajib meneriakkan nama lalu berlari ke arah batok kelapa,
begitu juga dengan lawan yang telah diketahui persembunyiannya berusaha keluar
sambil berlari berharap bisa mendahului si pet,
sebelum si pet berhasil menyentuh
batok dengan kaki di iringi dengan kata pong.
Jika si pet berhasil maka ia mencari
sisa lawan yang masih bersembunyi. Pong
kata ajaib sebagai simbol peresmian lawan yang sudah berhasil diketahui.
Keseruan terjadi bila salah satu lawan yang keluar berlari dari persembunyian,
lalu berhasil mengelabui si pet dan
berhasil menendang batok kelapa maka lawan yang telah tertangkap tadinya bisa
bebas bersembunyi lagi, maka si pet harus memulai pencarian dari awal satu
persatu.
Ketika semua lawan berhasil dicari dari persembunyian maka
si pet nantinya akan bergantian menjadi
pemain yang bersembunyi, sedangkan yang menjadi estafet menjadi pet adalah
pemain terakhir yang didapati keluar dari persembunyian. Ada yang unik dari
permainan ini, bila pemain sama-sama tidak menyukai seseorang maka mereka akan
bersekongkol untuk menjadikan yang tidak disukai itu menjadi pet. Lalu pemain yang bekerja sama
berusaha menendang patok sebisa mungkin sehingga pet akan menjadi korban
terlama dalam menjaga patok kelapa. Karena terlalu lama menjadi pet maka kadang-kadang karena tidak
tahan maka ia akan menangis. Resikonya permainan bubar, yang menangis akan
menjadi bahan ejekan. Haha.
Ada beberapa permainan kearifan lokal lainnya yang ingin
saya tulis, seperti permainan bernama Gubgub
dan Kasti. Terlalu panjang bila saya uraikan pada postingan ini, lagipula mata saya juga sudah lelah, menulis
pada pagi dinihari. Maka akan saya lanjutkan di bagian tulisan berikutnya.