Ayah, Senyum dan Sarung
Jujur saja, sebagai anak saya tidak pernah menghadiahi apapun untuk orang tua, saya hanya punya keinginan yang selalu tidak kesampaian, barangkali, saya terlalu egois karena selalu memikirkan diri sendiri, sebab saya sangat mampu membeli sesuatu, untuk saya hadiahi kepada orang tua, khususnya Ayah.
Sampai berpulang menghadap Ilahi, saya tidak menghadiahi apapun kepada ayah. Waktu itu umur Ayah memasuki usia 81, menjalani sisa hidupnya Ayah hanya bisa berbaring di kamar tidur. Tubuhnya yang sudah tua tidak bisa berbuat banyak, matanya tidak bisa terang lagi, Ayah perlu dibantu pada saat ingin mandi.
Pernah suatu ketika usai memandikan Ayah, saya mengambil sebuah sarung, untuk saya sarungkan di tubuh kurus Ayah. Karena sarung itu masih baru, Ayah menanyakan apakah sarung itu saya yang belikan. Saya menjawab bukan saya yang membelikan sarung itu. Ayah tersenyum.
Saya sedih harus menjawab hal itu, padahal jawabannya bisa berbeda, jika saja, saya tidak menunggu-nunggu membeli sarung yang sudah punya keinginan jauh-jauh hari tersebut, sampai akhirnya tidak kesampaian juga. Siapa duga, bila kesampaian, saya mungkin bisa memberikan jawaban yang membuat senyum ayah lebih lebar.
Kini Ayah sudah tiada, saya tidak sempat menghiadiahi apa-apa buat Ayah, saya sangat menyesal, sungguh sangat menyesal. Dan sekarang, saya masih punya Ibu, semoga saja, saya lebih baik menjadi seorang anak, bisa membelikan sesuatu untuk orang tua dengan biaya hasil keringat sendiri.
Saya pikir tidak perlu sebuah barang mewah untuk membuat orang tua tersenyum, sebuah pemberian yang tulus juga bisa sedikit membahagiakannya. :)
Sampai berpulang menghadap Ilahi, saya tidak menghadiahi apapun kepada ayah. Waktu itu umur Ayah memasuki usia 81, menjalani sisa hidupnya Ayah hanya bisa berbaring di kamar tidur. Tubuhnya yang sudah tua tidak bisa berbuat banyak, matanya tidak bisa terang lagi, Ayah perlu dibantu pada saat ingin mandi.
Pernah suatu ketika usai memandikan Ayah, saya mengambil sebuah sarung, untuk saya sarungkan di tubuh kurus Ayah. Karena sarung itu masih baru, Ayah menanyakan apakah sarung itu saya yang belikan. Saya menjawab bukan saya yang membelikan sarung itu. Ayah tersenyum.
Saya sedih harus menjawab hal itu, padahal jawabannya bisa berbeda, jika saja, saya tidak menunggu-nunggu membeli sarung yang sudah punya keinginan jauh-jauh hari tersebut, sampai akhirnya tidak kesampaian juga. Siapa duga, bila kesampaian, saya mungkin bisa memberikan jawaban yang membuat senyum ayah lebih lebar.
Kini Ayah sudah tiada, saya tidak sempat menghiadiahi apa-apa buat Ayah, saya sangat menyesal, sungguh sangat menyesal. Dan sekarang, saya masih punya Ibu, semoga saja, saya lebih baik menjadi seorang anak, bisa membelikan sesuatu untuk orang tua dengan biaya hasil keringat sendiri.
Saya pikir tidak perlu sebuah barang mewah untuk membuat orang tua tersenyum, sebuah pemberian yang tulus juga bisa sedikit membahagiakannya. :)