Jatuh Cinta Pada Kopi Gayo

SAYA harus mencatat tanggal 1 Desember 2013. Hari minggu itu, pertama kali saya menghabiskan tiga gelas kopi dalam sehari di satu tempat. Biasanya, paling banyak sehari saya mengonsumsi 2 gelas kopi di dua tempat berbeda. Jujur, saya khawatir minum kopi, sebab kafein akan membuat saya sulit tidur malam hari.

Saya bukan penikmat kopi yang bisa membedakan kopi enak dan tidak. Atau mengurai obrolan lebar tentang sensasi kopi. Saya cuma penyuka kopi biasa. Di warung kopi manapun saya berada, saya akan memesan secangkir kopi, ketika kopi yang ditawar cita rasanya tidak selaras dengan lidah, maka saya tidak akan memesan kopi di tempat yang sama.

Kopi yang saya minum sore itu berasal dari gayo, saya menikmatinya di Sada Coffee, selemparan batu dari komplek PKA, Lampriet - Banda Aceh. Ini bukan iklan, bukan, tapi saya harus mengatakan yang sebenarnya, Sada memang menyediakan gayo specialty coffee, sesuai tagline-nya. Sekali lagi ini bukan iklan.

Akhir-akhir ini, saya memang sudah menjadi langganan di warung kopi yang khusus menyediakan kopi arabika dari gayo itu. Bagaimana tidak, sebelumnya, saat menikmati kopi, saya tidak pernah terkejut ketika menenggak kopi kesekian kalinya, ternyata gelas sudah kosong.

Padahal saya baru memulai obrolan dengan seorang kawan. Merasa bertukar wacana tidak nyaman tanpa kopi, saya pesan secangkir lagi hingga obrolan selesai. Teman saya pulang dan saya masih disana menyelesaikan beberapa pekerjaan yang mengandalkan online. Karena sendirian saya menghubungi lagi teman yang lain, menemani saya dan memesan secangkir kopi lagi.


Saya beranggapan, kopi enak adalah kopi yang membuat lidah nyaman hingga lupa kalau tenggakan terakhir sudah habis sehingga kecewa dan ingin menikmati lagi. Hal tersebut, jujur saya menemukannya di kopi gayo. Memang kopi gayo punya rasa pahit, ada beberapa teman saya yang tak sanggup meminumnya, walau sudah menaruh sesaset gula.

Bagi saya sesaset gula sudah cukup, lidah saya sangat pas saat pahit lebih mengena, sedangkan manisnya seolah tenggelam hampir tidak terasa, saya sangat menikmatinya. Hal ini membuat saya merasa tidak lagi terlalu menyukai kopi robusta yang mudah didapat dan harganya relatif murah. Apalagi kopi sachet yang mudah didapat dikios-kios.

Arabika adalah kopi langka yang tumbuh di kebun dataran tinggi dan dipilih dari biji terbaik. Mungkin inilah yang membuat kopi arabika harganya lebih mahal dibanding robusta. Bagi saya wajar harganya lebih mahal, sebab kopi arabika berhasil memanjakan lidah saya.

Sekarang, saat ingin minum kopi, saya terlebih dahulu teringat arabika, persis seperti perasaan saya ketika jatuh cinta, saya mudah teringat pujaan hati. Ah terlalu jauh, sudahlah.

Popular posts from this blog

Keren! Cewek Aceh Nyanyi Hip Hop

Ikan Sebelah, Makanan Sisa Nabi Musa

Momen Simpang Mulieng