Menikmati Bakong Aceh

Lepas Idul Fitri 1434 lalu, saya berhenti dari dunia tarik asap rokok. Alasannya sederhana, saya tidak lagi mengantongi rupiah bulanan, kantong saya kembang kempis bahkan sesekali robek, yang saya yakin tak ada teknologi yang mampu menjahitnya.

Terus terang dulunya saya merokok hanya untuk gaya-gayaan, lifestyle. Bahkan masuk kategori perokok berat, sehari saya habiskan dua bungkus. Tapi entah kenapa rokok tidak mampu membuat saya ketergantungan, tidak ada masalah ketika saya memutuskan untuk berhenti merokok.

Cuaca siang Selasa, 19 November 2013 lumayan membakar kulit. Saya melihat Pak Wa baru saja melahap sebungkus nasi di serambi kantor Desa Miruk, Kr Barona Jaya, Aceh Besar. Sebagai pencuci mulut, Pak Wa menghisap rukok oen, tembakau berbalut daun nipah. Di desa tersebut saya sedang kuliah pengabdian masyarakat (KPM).

"Lagi istirahat Pak Wa?" saya mengawali pembicaraan. Sebelum makan siang Pak Wa menyusun batubata membangun proyek kantoran.

"Ia nak, mampir dulu." tawar Pak Wa, senyumnya menarik saya duduk di sebelah. Wajah sangar berkeriput hitam pekat itu ternyata tidak menakutkan melainkan sangat ramah tamah.

"Merokok?" Ia menyodor bungkus Magnum.

"Sebenarnya saya tidak lagi merokok Pak Wa, tapi kalau boleh minta saya mau rukok oen Pak Wa." Saya cengengesan, malu juga baru kenal sudah berani meminta.

"Ooo boleh, kami sering menyebutnya bakong aceh" ia mengambil kertas putih berisi tembakau, lalu batangan daun nipah yang terpisah begitu saja.

Saya mengambil dua batang daun nipah, "Saya jarang menghisap rokok daun jadi saya tidak bisa membalut tembakaunya Pak Wa!" saya beralasan di sela-sela merapikan daun nipah.

"Dek Gam bantu saya balut rokok ini, bisa kan, sepertinya kamu cekatan soal ini!" Dek Gam kawan makan siang Pak Wa, ia masih sangat muda, di mulutnya nancap sebatang rokok filter putih, bukan rokok daun.

"Saya tidak pandai, tapi saya bisa, tembakaunya yang taruh tebal atau gimana?" Dek Gam rupanya lihai sekali. "Yang biasa saja, standar nasional, saya bakal mabuk jika terlalu banyak."

Merakit rokok daun memang harus memiliki keahlian, sebab tembakau dan daun nipah terpisah. Jadi sebelum dikonsumsi harus dibalut menjadi satu. Sebelumnya saya pernah mencoba membalut sendiri, karena tak terbiasa, akibatnya rokok daun tak rapi dan asal-asalan, asap keluar tidak lancar dan sangat tidak nyaman saat dikonsumsi.

Rokok daun memang sudah jarang yang konsumsi, di pasaran juga sudah jarang ditemui. Hanya orang-orang tertentu yang berlangganan, itupun golongan orang-orang senja yang sudah dimakan usia.

Tak butuh waktu lama bagi Dek Gam membungkus tembakau dengan daun nipah. "Ini sudah selesai" ia menyodor rokok berujung sebesar jari kelingking dewasa dan pangkal yang mengecil dari ujung.

Saat membakar ujung rokok dan menghisapnya, berarti saya sudah membatalkan puasa rokok selama beberapa bulan lalu, saya tak peduli. Saya mencoba menikmatinya, rokok daun punya rasa yang keras dan membekas di dinding-dinding mulut, barangkali karena efek pertama kali semenjak pensiun kemarin.

"Saat mengonsumsi ganja tempo dulu, saya tidak pernah membalut sendiri, karena jarang jadi tidak pandai." Saya kembali membuka obrolan.

"Ganja itu kalau dicampur dengan tembakau daun nipah sangat enak dan tidak memabukkan" Kata Pak Wa menyambut obrolan saya

"Kalau cuma mengonsumsi ganja kan kita bakal mabuk, tapi kalau dicampur tidak apa-apa, banyak yang mengatakan begitu, tapi saya tidak pernah mencobanya" sambung Pak Wa. Saya tidak menanggapi lagi obrolan Pak Wa, selain saya juga tidak pernah mencampurnya juga tidak ingin obrolan itu melebar terlalu jauh.

"Melihat kalian menghisap rokok daun, saya jadi ingin mengonsumsinya juga." kata Dek Gam, lantas ia cekatan membalut sendiri rokok daun dengan ukuran standar nasional, sama seperti saya.

Selesai menikmati rokok daun, saya pamit dan berterimakasih sama Pak Wa dan Dek Gam, mereka memulai aktivitas masing-masing. Mengobrol dengan mereka menyenangkan, mereka menyambut kami dengan baik.

"Orang-orang di kampung ini sangat baik, dulu ada juga yang KPM, saat mereka meninggalkan kampung ini, orang kampung ada yang menangis, mereka terharu" Kata Pak Wa. Saya hanya menganguk, berharap kehadiran kami juga tidak sia-sia. Obrolan tentang rukok oen membuat kami lebih kenal dekat.

Usai pamit, saya bersama 5 kawan-kawan KPM, memburu makan siang mengganjal perut kelaparan. Setiba di warung, kepala saya terasa pening, tak tenang. Perut saya mulai tak enak, melihat menu makanan saya jadi tidak selera. Saya menduga efek rukok oen mengaduk kepala saya. Saya paksakan makan seadanya, mengonsumsi air putih lebih banyak.

"Kineung rukok balot sibak ka mumang, Haha (Mengonsumsi rokok daun sebatang sudah pening)" Kata Fahrul teman KPM.

Saya hanya senyum, usai makan siang saya teringat, memang tidak berminat untuk kembali menghisap rokok, Menikmati rukok oen bersama Pak Wa dan Dek Gam hanya akal-akalan saya untuk lebih akrab dan punya obrolan dengan mereka.

Sekali sesekali, merokok barangkali tidak terlalu berpengaruh pada kesehatan, juga kantong sebab rukok oen itu gratis. Saya berpikir terkadang merokok itu ada manfaatnya, seperti mengakrabkan hubungan pertemanan. Ah entahlah.

Popular posts from this blog

Ikan Sebelah, Makanan Sisa Nabi Musa

Keren! Cewek Aceh Nyanyi Hip Hop