Cerbung: Kopi Pahit
Semenjak berkeinginan menyelesaikan tugas akhir di kampus, aku sering menghabiskan waktu di kantin. Bang Min, pelayan kantin sudah hafal betul dengan wajahku, bahkan aku tak perlu payah-payah memesan minuman, sebab Bang Min bakal menyuguhkan secangkir kopi pahit ketika tubuhku rebah di kursi plastik silver.
“Biar selaras dengan hidup saya yang sedang pahit” Alasanku ketika Bang Min, yang kebetulan sekampung denganku, menanyakan perihal aku suka kopi pahit.
Senin, 28 Oktober 2013, wajahku tak luput hadir di kantin langganan mahasiswa. Pagi itu seperti biasa, beradu obrolan dengan beberapa kawan, kopi pahit ikut mendengar obrolan, sesekali masuk melewati kerongkongan. Puing-puing kepahitan sudah menjadi bagian hidupku. Yang paling pahit terbaru, aku belum tamat kuliah, padahal separuh kawanku seangkatan lainnya, sibuk mencari kerja.
Terkadang aku memang tak percaya pada kata-kata membosankan ini: Tak ada yang tidak mungkin. Mana mungkin kopi pahit tiba-tiba manis dengan sendirinya. Kecuali ada malaikat yang repot-repot turun ke bumi menaruh gula. Ah, ini jelas-jelas tak mungkin. Malaikat punya pekerjaan jauh lebih penting.
Aku meneguk kopi ke sekian kalinya, sambil melempar pandangan pada pejalan kaki atau menghitung nomor plat sepeda motor yang berderet beberapa meter pojokan kantin kampus tempat saya duduk.
Sepeda motor tanpa transmisi hijau tua buatan Jepang, berhenti. Menambah deretan parkiran. Seteguk kopi kulayangkan lagi dalam mulut. Manis. Dua tegukan lagi juga masih manis. “Siapa yang menaruh gula di kopi saya”. Tak ada yang menjawab, mereka sudah menghafal pertanyaan konyolku, mereka punya alasan tak menjawab.
Mataku kembali ke parkiran, pemilik sepeda motor hijau tua itu, seorang gadis. Wajahnya, masih kalah cantik dengan artis Sherina Munaf. Ya, namanya juga artis. Tapi, ada satu hal yang membuat dia tak biasa, tepatnya lebih cantik dari artis manapun. Saat dia melepas senyum, senyum menawan. Aku menyebutnya begitu sebab jarang ada gadis lain yang berlalu lalang atau langganan kantin punya senyum sama.
Aku menduga, senyumnya yang menawan itu, sudah menyihir kopi pahitku hingga manis. Ya, dia penyihir yang memakai pakaian dan jilbab merah jambu. Memandanginya, jelas hatiku berbunga-bunga, seperti bunga yang nempel di rok dara penyihir itu. Terlalu kasar aku menyebutnya penyihir. Tapi salah dia sendiri mengapa menyihir kopiku dengan senyumnya.
Gadis itu melangkah melewatiku, di meja yang tak jauh dariku, ada empat gadis sudah menunggu. Mereka girang menyambutnya. Dia duduk tepat di hadapanku. Tegukan kopi kesekian kalinya juga masih manis. Aku masih tak bosan mencuri pandang menikmati senyum di wajahnya. Kalo dia penyihir, saya pencuri. Pencuri senyum menawan si gadis merah jambu. Penyihir dan pencuri jelas sama, sama-sama merugikan orang lain.
Artinya aku punya kesamaan dengannya, barangkali ini kode sebuah kecocokan. Apalagi membuat film dengan judul “Penyihir dan Pencuri”, pasti bagus. Sutradara sekelas Hanung Bramantyo pasti tidak memikirkan judul itu. Hanya aku, penikmat kopi pahit yang memikirkannya. Aku sudah berpikiran jauh, sihirnya sudah melebar, aku harus fokus mencuri senyumnya. Siapa tau, sekalian saja mencuri hatinya.
Bersambung...
“Biar selaras dengan hidup saya yang sedang pahit” Alasanku ketika Bang Min, yang kebetulan sekampung denganku, menanyakan perihal aku suka kopi pahit.
Senin, 28 Oktober 2013, wajahku tak luput hadir di kantin langganan mahasiswa. Pagi itu seperti biasa, beradu obrolan dengan beberapa kawan, kopi pahit ikut mendengar obrolan, sesekali masuk melewati kerongkongan. Puing-puing kepahitan sudah menjadi bagian hidupku. Yang paling pahit terbaru, aku belum tamat kuliah, padahal separuh kawanku seangkatan lainnya, sibuk mencari kerja.
Terkadang aku memang tak percaya pada kata-kata membosankan ini: Tak ada yang tidak mungkin. Mana mungkin kopi pahit tiba-tiba manis dengan sendirinya. Kecuali ada malaikat yang repot-repot turun ke bumi menaruh gula. Ah, ini jelas-jelas tak mungkin. Malaikat punya pekerjaan jauh lebih penting.
Aku meneguk kopi ke sekian kalinya, sambil melempar pandangan pada pejalan kaki atau menghitung nomor plat sepeda motor yang berderet beberapa meter pojokan kantin kampus tempat saya duduk.
Sepeda motor tanpa transmisi hijau tua buatan Jepang, berhenti. Menambah deretan parkiran. Seteguk kopi kulayangkan lagi dalam mulut. Manis. Dua tegukan lagi juga masih manis. “Siapa yang menaruh gula di kopi saya”. Tak ada yang menjawab, mereka sudah menghafal pertanyaan konyolku, mereka punya alasan tak menjawab.
Mataku kembali ke parkiran, pemilik sepeda motor hijau tua itu, seorang gadis. Wajahnya, masih kalah cantik dengan artis Sherina Munaf. Ya, namanya juga artis. Tapi, ada satu hal yang membuat dia tak biasa, tepatnya lebih cantik dari artis manapun. Saat dia melepas senyum, senyum menawan. Aku menyebutnya begitu sebab jarang ada gadis lain yang berlalu lalang atau langganan kantin punya senyum sama.
Aku menduga, senyumnya yang menawan itu, sudah menyihir kopi pahitku hingga manis. Ya, dia penyihir yang memakai pakaian dan jilbab merah jambu. Memandanginya, jelas hatiku berbunga-bunga, seperti bunga yang nempel di rok dara penyihir itu. Terlalu kasar aku menyebutnya penyihir. Tapi salah dia sendiri mengapa menyihir kopiku dengan senyumnya.
Gadis itu melangkah melewatiku, di meja yang tak jauh dariku, ada empat gadis sudah menunggu. Mereka girang menyambutnya. Dia duduk tepat di hadapanku. Tegukan kopi kesekian kalinya juga masih manis. Aku masih tak bosan mencuri pandang menikmati senyum di wajahnya. Kalo dia penyihir, saya pencuri. Pencuri senyum menawan si gadis merah jambu. Penyihir dan pencuri jelas sama, sama-sama merugikan orang lain.
Artinya aku punya kesamaan dengannya, barangkali ini kode sebuah kecocokan. Apalagi membuat film dengan judul “Penyihir dan Pencuri”, pasti bagus. Sutradara sekelas Hanung Bramantyo pasti tidak memikirkan judul itu. Hanya aku, penikmat kopi pahit yang memikirkannya. Aku sudah berpikiran jauh, sihirnya sudah melebar, aku harus fokus mencuri senyumnya. Siapa tau, sekalian saja mencuri hatinya.
Bersambung...