Antara Warkop Kota dan Desa

"Ngopi yuk?" Ini ajakan seorang teman yang sulit ditolak, kecuali ketika kantong tak bersahabat, biasanya tentu saat-saat dipenghujung suatu bulan. Saat menerima ajakan itu, yang jadi persoalan selanjutnya adalah menentukan tempat yang enak dan nyaman. "Yuk ngopi dimana?"


Aceh punya seribu satu warung kopi, apalagi di ibukota Banda Aceh, pilihannya lebih banyak lagi, di kota warkop memang sedikit beda dengan di desa-desa. Di desa warung kopi penampakannya klasik, benar-benar kampung, interior yang biasa saja, kursi dan meja terbuat dari kayu di makan usia, dinding dan atap mulai berpeta kehitaman. Harga menu juga sesuai kantong kaum desa.

Nah di kota warkopnya di atur sedemikian rupa, biar nampak kekotaannya, warkop di kemas dengan warna-warna kontras, dinding berbalut wallpaper cantik, kursi dan meja berbahan khusus dan nyaman, lampu-lampu yang eksotik juga memaniskan pelanggan berpenampilan rapi dan bersih, tak lupa gadget keren yangtak pernah lepas dari tangannya. Harga menu di warkop kota, juga selaras dengan style kaum kota.

Ketika kaum kampung bertandang ke kota, lalu ngopi di salah satu warkop kota, maka akan menimbulkan kekecewaan berat, belum lagi penampilannya yang kalah mentereng, masyarakat kampung juga meninggalkan warung dengan segudang kata-kata mutiara, palak dengan harga kopi yang tak sesuai dengan warkop di desanya. Di kampungnya harga kopi Rp2000 di kota Rp4000.

warkop-kampung


Papan nama warkop kota dan desa juga sangat beda, di kota papan nama warkop dibuat sebesar mungkin, dengan warna kontras, yang jaraknya satu kilometer masih nampak, kebanyakan pelanggan warga kantoran, anak muda gaul dan keren juga cewek-cewek cantik. Nama warkop juga keren kebanyakan ujungnya punya istilah asing, semisal, Coffee atau Kafe. Di warkop kampung, ada juga ikut kebiasaan kota, namun masih banyak warkop tanpa papan nama, tapi punya pelanggan dari masa ke masa dan lanjut usia.

Ketika seorang teman menunjuk saya memilih destinasi warkop nyaman, maka saya akan memilih melebar dari kota menuju ke kampung-kampung, di desa keaslian penampakan keacehan masih kental, memakai bahasa aceh, penampilan seadanya, wajah-wajah yang punya segudang cerita dibalik kulit keriput. Yang paling penting warkop kampung lebih nyaman, tak berbisik, apalagi tak ada masalah ketika ngopi di warkop kampung saat-saat di penghujung bulan.

Walaupun kota sudah menjadi lalu lintas saya sehari-hari, bukan saya tak menyukai warkop di kota, hanya saja, warkop kota itu riuh sekali, saya kurang menyukai keriuhan, sebab riuh itu menyumbang beberapa persen rasa stres. Ngopi adalah waktu kita bersantai, istirahat sejenak dari aktivitas kantor yang lelah dan kadang-kadang menimbulkan stres, nah saat-saat seperti ini paling enak menjauh sedikit dari kota mencari tempat santai dan nyaman, ngopi di kampung bisa jadi solusi pasti.

Wahyu Rezeki salah satu kawan ngopi ikut berpendapat, Menurutnya pilihan tempat ngopi itu tergantung kebutuhan. "Kalau mau sekedar poh cakra enaknya ngopi di kampung, namun ketika ingin tempat yang serius enaknya di kota, sebab warkop di kota memudahkan kita terkoneksi dengan jaringan internet. Warkop kota ngopi sambil memainkan laptop sudah menjadi tren" Katanya.

Nah, saya juga setuju dengan Wahyu, dengan banyaknya pilihan tempat bersantai sambil menikmati secangkir kopi, melempar obrolan yang mengundang tawa, tentu memudahkan masyarakat menentukan pilihan yang berbeda-beda, siapa yang tak suka suasana baru?. Saya yang kebiasaan ngopi di kampung juga tak akan menolak ajakan ngopi di warkop kota yang baru dan mewah, itung-itung ya itu tadi, suasana baru dan online. Hehe.

Foto atas: Suasana salah satu warkop di kota Banda Aceh.
Foto bawah: Suasana salah satu warkop di Matangglumpangdua.

Popular posts from this blog

Ikan Sebelah, Makanan Sisa Nabi Musa